Beli Edisi Cetak

Rabu, 03 Agustus 2011

Politik Uang Anas Diusut

Dugaan politik uang dalam Kongres Nasional Partai Demokrat yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum mulai diusut oleh Dewan Kehormatan Partai Demokrat.Anggota Dewan Kehormatan (DK) Partai Demokrat Evert Erenst Mangindaan mengungkapkan, DK sudah memeriksa beberapa orang terkait dugaan politik uang dalam kongres di Hotel Mason Pine, Bandung tersebut. Dalam kongres itu, Anas —politikus kelahiran Blitar, 15 Juli 1969— terpilih sebagai ketua umum menyisihkan dua pesaing, Marzuki Alie (Ketua DPR RI) dan Andi Mallarangeng (Menpora).
Pada pemilihan tahap pertama, Anas mengumpulkan 236 suara, sementara Marzuki 209 suara dan Andi 82 suara dari total 531 suara. Dua suara dinyatakan rusak.
Pada pemilihan tahap kedua, Anas meraih 280 suara (53%), sementara Marzuki 248 suara (47%).
Tuduhan politik uang pertama kali dilontarkan oleh tersangka kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games 2011, Muhammad Nazaruddin, yang kini masih buron. Proyek wisma atlet dibangun di Palembang dengan dana APBN senilai Rp 191 miliar.

Menurut Nazaruddin, Rp 9 miliar dana dari proyek itu disetorkannya ke Anas Urbaningrum untuk kampanye pemenangan dalam pencalonan ketua umum Demokrat. Nazaruddin juga mengaku “menyetorkan” Rp 50 miliar dari proyek Stadion Hambalang di Bogor untuk keperluan yang sama.

Anas sudah membantah semua tuduhan Nazaruddin tersebut. Dia bahkan melaporkan mantan koleganya itu ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Mangindaan enggan menyebutkan nama-nama saksi yang sudah dimintai keterangan oleh DK. Sebab, menurutnya, mereka dipanggil bukan karena bersinggungan dengan masalah hukum.

“Tidak usahlah. Kalau ini internal dulu. Yang jelas, orang yang diduga mengetahui nyanyian Nazaruddin itu sudah dipanggil,” ujar Mangindaan di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, pemeriksaan ini dilakukan setelah ada pengakuan dari anak buah Nazaruddin. Dalam beberapa kesempatan, termasuk kepada TV One dan Metro TV, tiga anak buah Nazaruddin yakni Dede dan Jauhari (satpam) serta Dayat (sopir) mengaku mengantarkan 19 kardus berisi uang dari kantor Permai Group milik Nazaruddin di Mampang, Jakarta, ke Bandung pada 21 Mei 2010 atau dua hari sebelum pemilihan ketua umum.

Dalam pengakuannya, Dede menjelaskan bahwa pada 21 Mei 2010, ada empat mobil berangkat ke Bandung lewat tol Cikampek dan Cipularang yang membawa 19 kardus uang. Konvoi ini berangkat pukul 19.00 dari kantor Muhammad Nazaruddin di Tower Group Permai di Mampang, Jakarta.

Mobil terdepan adalah voorrijder polisi, disusul Toyota Fortuner yang membawa lima kardus uang, Daihatsu Espass boks membawa 14 kardus uang, dan terakhir Toyota Fortuner.

Dede menumpang di Daihatsu Espass. Dia hanya bersama sopir. Di Toyota Fortuner pertama, ada Jauhari dan dua staf Yulianis, kepala keuangan Nazaruddin.

Di Toyota Fortuner terakhir, ada tiga penumpang yang seluruhnya staf Nazaruddin di Group Permai.

Sebenarnya, menurut Dede, ada satu mobil lagi, yakni Honda CRV. Namun mobil ini berangkat menyusul, berpenumpang tiga orang terdiri atas Yulianis dan dua stafnya.

Konvoi sampai di Bandung sekitar pukul 23.00 dan berhenti di Hotel Aston. Mereka parkir di basemen. Dari basemen, kardus-kardus uang itu kemudian diantarkan ke kamar 10 di lantai 9.

Meski tiga anak buah Nazaruddin sudah mengaku blak-blakan kepada media, menurut Mangindaan, DK tidak akan meminta keterangan kepada mereka. Pasalnya, DK hanya menelisik dari sisi etika, bukan pelanggaran hukum. Soal masalah hukum, menurutnya, sudah ada lembaga tersendiri yang lebih berwenang mengurus.

“Kami hanya memeriksa dari sisi etika. Kalau itu (memeriksa anak buah Nazaruddin) sudah masalah hukum, bukan lagi masalah etika,” kilah Mangindaan.

Anggota DK, Jero Wacik menambahkan, pihaknya akan terus melakukan evaluasi dan klarifikasi terhadap berbagai persoalan etika yang menyangkut kader-kader Demokrat. “Kami akan melakukan, tapi tidak akan diekspose,” ungkapnya.

Dia menegaskan, DK juga akan terus mengawasi apakah ada kader yang melanggar etika politik, tidak bersih, atau indikasi tidak bersih atas dasar pemberitaan di media. Selain itu, DK juga mengawasi mana kader yang tidak cerdas dan santun.

Keduanya tidak bersedia menjelaskan apa konsekuensi dari pemeriksaan itu jika pada akhirnya Anas terbukti melakukan politik uang.(CyberNews)

Photobucket