Beli Edisi Cetak

Minggu, 18 Desember 2011

Akademisi Kapok Lamar Hakim Agung

Para akademisi dari perguruan tinggi trauma sehingga dipastikan akan kapok melamar menjadi hakim agung jika sistem pemilihan masih seperti sekarang. Terutama ketika berhadapan dengan Komisi III DPR. ”Apalagi sekarang gaji seorang akademisi sudah dinaikkan tidak kalah besar dibandingkan hakim agung. Ini memprihatinkan untuk masa depan hukum kita,kalau tidak segera mendapatkan perhatian,” kata Prof dr Adi Sulistiyono SH MH, guru besar Fakultas Hukum UNS. Dalam sebuah diskusi di Solo, dia mengatakan itu masih ditambah dengan tumpukan perkara yang mencapai ratusan di meja seorang hakim agung, akibat tidak terseleksinya perkara yang mestinya cukup ditangani di Pengadilsan Negeri (PN atau di Pengadilan Tinggi (PT), sehingga semua ditumpuk di Mahkamah Agung (MA). ”Pekerjaan berat, tugas menumpuk, seleksinya menyakitkan hati. Ini yang menjadikan akademisi ke depan tidak akan mau mendaftar lagi menjadi hakim agung. Ini tugas KY (Komisi Yudisial) untuk memberikan usulan agar ada perubahan,” kata dia. Dr Suparman Marzuki SH, anggota Komisi Yudisial membenarkan masalah itu. Seleksi yang sekarang ini masih menyertakan anggota Komisi III DPR sebagai penyeleksi terakhir, sering menimbulkan sakit hati para calon. ”Pertanyaannya kadang tidak nyambung dengan urusan hukum, namun justru mempersoalkan masalah yang memunculkan sakit hati para calon. Pertanyaannya juga sering bernada melecehkan. Ini bisa berdampak pada keengganan tokoh masyarakat mencalonkan diri,” kata dia. Karena itu KY sedang menyusun usulan kepada pemerintah, agar sistem rekrutmen hakim agung diubah. Paling tidak, anggota Komisi III DPR tidak perlu bertanya, tetapi cukup memilih dari calon yang sudah diseleksi tim khusus. ”Dibentuk saja komite khusus penyeleksi, dan nantinya calon tersaring diserahkan kepada Komisi III DPR untuk dipilih. Tidak perlu lagi ada pertanyaan, karena semua data tentang calon sudah ada dari komite penyeleksi,” tandasnya. Dia mengatakan, selama ini calon hakim agung yang sudah lolos seleksi tetapi tidak dipilih oleh Komisi III DPR, mulai trauma dan tidak lagi berminat. Ini dialami hampir semua calon, baik dari kalangan internal hakim karier, dan juga akademisi dari universitas. ”Karena itulah KY berharap ke depan betul-betul ada perubahan sistem rekrutmen. Kami sudah merancang usulan itu, agar diperhatikan oleh pemerintah dan DPR, guna kepentingan hukum di Indonesia ke depan,” kata dia. Di bagian lain, Prof Adi dan juga Suparman Marzuki sepakat adanya perlindungan para hakim yang menjalankan tugasnya dengan baik, memutuskan perkara dengan hati nurani, dan hukum progresif. Hakim yang berani menolak intervensi dari siapapun. ”Memang ada kecenderungan media mem-blowup berita hakim yang nakal. Sangat sedikit media memuat berita tentang hakim yang baik, yang menjalankan tugasnya dengan nurani. Padahal prestasi hakim seperti itu perlu mendapatkan apresiasi,” kata Prof Adi.

Photobucket