Beli Edisi Cetak

Kamis, 05 Januari 2012

Gayus Dituntut Delapan Tahun

Mantan pegawai golongan III-A di Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, dituntut delapan tahun penjara plus denda Rp 1 miliar dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/1). Tuntutan itu diajukan oleh tim jaksa yang menilai Gayus terbukti menerima suap beberapa kali dari sejumlah perusahaan yang jika dirupiahkan bernilai lebih dari Rp 94 miliar. Suap diberikan dalam bentuk uang dolar AS dan dolar Singapura. Tahun lalu, Gayus sudah divonis 7 tahun dan 2 tahun penjara untuk dua kasus berbeda. Dia dihukum 7 tahun pada 19 Januari 2011 karena menerima suap saat mengurus pajak PT Surya Alam Tunggal yang merugikan negara lebih dari Rp 500 juta. Kemudian pada 4 Oktober 2011, pria yang baru empat tahun bekerja di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ini divonis 2 tahun penjara karena pemalsuan paspor atas nama Sony Laksono. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin, tim jaksa yang diketuai Edy Rakamto menilai, Gayus terbukti bersalah dalam empat kasus yang didakwakan bersamaan, yakni melakukan korupsi, gratifikasi, pencucian uang, dan menyuap penegak hukum. Pertama, Gayus didakwa menerima suap Rp 925 juta dari Roberto Santonius sebagai imbalan pengurusan gugatan keberatan pajak PT Metropolitan Retailmart. Kedua, pada 2008, dia menerima uang 1 juta dolar AS (setara Rp 9,14 miliar) dari Alif Kuncoro sebagai kompensasi membuatkan surat banding dan bantahan untuk perkara pajak PT Bumi Resources. Dalam kasus ini, Gayus awalnya dimintai bantuan oleh Alif Kuncoro untuk membuatkan surat banding PT Bumi Resources yang menunggak pajak. Gayus bersedia. Syaratnya, dia meminta imbalan 500 ribu dolar AS (Rp 4,5 miliar). Uang itu, menurut Alif, katanya akan diberikan ke Panitera Pengadilan Pajak Idris Irawan. Namun setelah surat beres dan urusan itu selesai, Gayus tidak pernah memberikan uang tersebut kepada Idris, melainkan menggunakannya untuk kepentingan sendiri. Hubungan ‘’bisnis’’ Gayus dengan Alif terus berlanjut. Pada tahun yang sama, Alif kembali mendatangi Gayus di apartemennya di Jakarta untuk meminta bantuan mengurus Surat Ketetapan Pajak (SKP) tahun 2001-2005 milik PT Kaltim Prima Coal. Gayus memenuhi permintaan itu dan lagi-lagi mendapat imbalan 500 ribu dolar AS. Mungkin karena selalu berhasil, Alif pun kembali meminta bantuan Gayus untuk membuatkan pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Penghasilan (SPT PPh) periode 2005-2006 milik Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin. Surat itu dibutuhkan oleh dua perusahaan tersebut untuk mendapatkan fasilitas sunset policy . Sunset policy adalah program pengampunan pajak dari Dirjen Pajak dengan cara wajib pajak membenarkan sendiri SPT tahunan dari tahun 2007 ke bawah. Perusahaan yang menerima sunset policy tidak akan dikenai sanksi atas kekurangan pajaknya. Tak sulit bagi Gayus memenuhi permintaan itu. SPT PPh milik Kaltim Prima dan Arutmin itu dibetulkannya. Untuk pekerjaan tersebut, dia pun menerima imbalan dua juta dolar AS atau sekitar Rp 18,2 miliar. Dengan demikian, Gayus total menerima suap 3,5 juta dolar AS atau Rp 27,2 miliar dari Alif Kuncoro. Perbuatan Gayus yang menerima uang dari Alif dianggap melanggar Pasal 12 B Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 9,68 Juta Dolar Dakwaan kedua, Gayus memiliki uang sebesar 659.800 dolar AS dan 9,68 juta dolar Singapura (setara 67,76 miliar) dari hasil gratifikasi. Jaksa menilai dia melanggar Pasal 12 B Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Dakwaan ketiga, Gayus menyimpan kekayaannya di safe deposite box Bank Mandiri Cabang Kelapa Gading. Perbuatan itu, menurut jaksa, melanggar Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dakwaan keempat, Gayus menyuap petugas Rumah Tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, termasuk Kepala Rutan Mako Brimob, Kompol Iwan Siswanto. Suap dia berikan agar bisa keluar-masuk tahanan sewaktu-waktu. Dalam amar dakwaannya, jaksa menilai Gayus bukan mengabdi pada negara, melainkan memanfaatkan kelemahan sistem untuk memperkaya diri. ”Gayus juga berbelit-belit selama persidangan, sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, dan selama dalam tahanan mengulangi perbuatannya dengan menyuap aparat hukum,” kata Edy. CyberNews

Photobucket